FILSAFAT DAN KEBINGUNGAN

 

Saya sebenarnya bingung untuk memulai menulis tentang tulisan ini, dari mana kah saya harus memulai, kenapa harus memulai dari bahasan ini atau itu,  dan hal apa yang akan dituliskan berikutnya.  Sungguh menjadi hal yang menyusahkan karena pusing memikirkannya,  untuk memulai saja sudah pusing karena adanya rasa bingung yang selanjutnya menjadi ragu atas pekerjaan yang akan dilakukan.  Lantas apa yang menjadi penyebab demikian? Apakah kebingungan muncul karena adanya rasa tidak berdaya diri  kita untuk mewujudkan apa yang kita mau (tidak percaya diri) lantas meragukan keinginan kita? Lantas apa yang menjadi penyebab lain sehingga kita bingung? apa kah kita takut dikomentari orang lain atas pekerjaan kita, apa kita tidak mau pekerjaan kita dikomentari orang lain, dan atau apakah kita menargetkan hasil yang bagus sekali sehingga mengharuskan  merencanakan tindakan untuk mewujudkan nya lantas kita bingung karena terbayangi rasa takut tidak berhasil?

Baik lah saya akan mulai, filsafat yang mempunyai arti cinta kebijaksanaan,  yang sebelum menuju ke arah sana seseorang harus berfikir sesuatu/  memikirkan sesuatu sehingga ia akan mengalami pergolakan pikir dalam dirinya,  dan merancang sebuah jawaban atau mungkin sebuah ketidakberdayaan menemukan jawaban atas pertanyaan2 dalam pikirannya sehingga ia akan bersikap bijak sebagai suatu kepasrahan berfikir.

Jika berfilsafat adalah suatu proses berfikir atas segala sesuatu di alam kehidupan,  maka tidak jarang kebingungan akan menyertai nya,  seperti yang telah disebutkan tadi kebingunga ada karena ketidakberdayaan manusia,  penuh nya hal-hal yang dipikirkan oleh manusia, menjadikannya ragu apa hal yang benar dan salah, pikiran seakan -akan mencari sesuatu yang dapat diterima dan dapat memuaskannya. Jika mendapatkan hasil itu adalah suatu kemenangan tapi jika tidak adalah suatu kebingungan yang terulang kembali.

Lantas apa hidup hanya berbicara mengenai kehidupan pikiran? yang di mana manusia terus -menerus memikirkan apa yang  dipikirkan ? Apa jawaban dari segala pertanyaan muncul dalam pikiran? bagaimana dengan kehidupan nyata yang membuat diri merasakan kenyataan melalui indera.

Bangun dari pikiran,  menuju luar pikiran,  dunia sedang menunggu pergerakan manusia2 nya .( agak berbau motivasi sampah).
Saya hanya ingin bilang bahwa filsafat membuat kebingungan dan jika tidak tersadar akan terus berputar didalamnya, terjebak dalam dunia pertimbangan /kebingungan karena pikiran belum mampu menemukan oase atau bahkan tidak mampu menemukannya,  apakah mungkin itu menjadikan nya  kehilangan momen realitas

Saya masih teringat apa yang dikatakan Jakob Soemardjo dalam bukunya Susahnya Menjadi Orang Baik,  kira2 begini “filsuf barat hanya memikirkan dunia, filsuf timur memikirkan dan melakukan ” .

Sekian

B. Sulistyo
Pojok Kamar.

Apa yang dimaksud filsafat sebagai mother of science?

Science atau sains atau ilmu pengetahuan merupakan produk dari peradaban manusia di bumi ini. Sains bisa dikatakan sebagai sebuah eksistensi dari manusia. Sains muncul dari rasa ingin tahu manusia terhadap apa yang dialami alam raya ini, sehingga manusia mempertanyakan kenapa hal ini dan itu bisa terjadi. Apa hal yang menyebabkan sesuatu terjadi pada diri manusia itu sendiri dan alam yang ia tempati. Kita bisa melihat kebelakang bahwa para filsuf yunani (yang terekspos media dalam arti yang ditulis sejarawan;sebenarnya saya ragu apa hanya filsuf2 yunani saja yang menjadi aktor dalam membangun pondasi peradaban sains dunia) yang mempertanyakan alam ini.  Maka saat itu muncul filosof alam sampai mazhab seperti millenesian dan kaum atomis.  Jika filsafat sebagai seni bertanya dan didalamnya terkandung serangkaian rasa heran,  tidak percaya atau ragu. Lantas muncul lah upaya2 pencarian oleh manusia itu sendiri, bagaimana bumi ini tercipta, kenapa bumi tercipta, kenapa matahari terbit di arah timur dan tenggelam di arah barat. Kenapa air berbentuk cair tidak padat seperti batu, kenapa jika tubuh ini digores pisau lalu sakit dan keluar darah yang dalam wujud seperi air, cair mengalir. Atau jangan2 kita berbahan dasar air?

filsafat tentu sebagai media dalam upaya pencarian yang ingin diketahui oleh manusia itu. Lantas dari mana kah asal atau sebutan filsafat itu sebagai mother of science?  Atau asal dari ilmu pengetahuan itu?

Jika kita mempertanyakan sesuatu dalam rangka mencari apa kah hanya terus berjalan dalam ranah mempertanyakan terus?

Maksud saya di sini adalah jika sesorang berfilsafat tentang sesuatu apa kah ia harus terus berfilsafat?
Saya pikir filsafat merupakan pandangan atas.suatu  pertanyaan manusia. Lantas bagaimana suatu sains muncul?

Jika orang berfilsafat dan menemukan jawaban berdasarkan kerja pikirannya lantas dari sana muncul suatu sains?

Sains sendiri merupakan ilmu pengetahuan bukan pengetahuan.  Ada ilmu dibelakangnya. Maka saya berpikir “ilmu” itu lah sebagai hasil dari suatu  proses pengolahan pengetahuan manusia.

Ahli kimia atau alkimia, mempertanyakan apa betul air akan menghilang jika dipanaskan terus menerus, ? Apa yang terjadi jika air dicampur dengan minyak dan bagaimana menyatukan mereka dalam suatu wujud.

Ahli kimia ini tentu bertanya apa yang sebenarnya bahan dasar dari segala sesuatu materi di bumi ini. ?

Maka bagi saya,  yang dimaksud filsafat sebagai mother of science adalah sebuah sebuah dasar untuk membangun pondasi2 dan menyempurnakan pengetahuan untuk menjadi sains. Walaupun sains tidak mutlak dan terus berubah. Filsafat harus diuji dengan serangkaian proses agar menjadi ilmu pengtahuan walaupun ilmu pengetahuan itu sendiri akan berubah dikemudian hari maka harus kembali lagi pada filsafat ilmu itu sendiri.

Hasil dalam berfilsafat harus diuji dengan mengadakan realisasinya. Jika tidak maka filsafat itu tidaklah menjadi suatu kemajuan bagi umat manusia.

Pojok kandang kuda,

Sulistyo Bayu.

TAHU DAN BISA

Apa kah yang membedakan antara ‘Tahu’ dan ‘Bisa’ ? Apa kah ke-dua nya sama ? lantas jika berbeda apakah yang menjadikannya berbeda ? kenapa ‘mereka’ selalu disebut-sebut pada setiap pelajaran. “Budi, apa kau bisa menghitung rumus trigonometri ?”, “Ah mahasiswa mana bisa melebur bersama masyarakat”, “hei kau mahasiswa baru, apa kau tahu esensi dari seorang mahasiswa?“. Begitu kira-kira kata “tahu” dan “bisa” selalu disebut-sebut dalam ranah pendidikan. Kira nya ‘Tahu’ dan ‘bisa’ telah menjadi indikator yang tidak formal kemudian ujian yang mengejawantahkan nya sehingga menjadi formal dalam mengukur keberhasilan suatu pendidikan, karena jika seorang siswa dan atau mahasiswa telah ‘Tahu’ dan atau ‘Bisa’ dalam ranah bidang keilmuan nya maka ia telah dinilai telah mampu menguasai keilmuan nya. Apa kah memang telah benar-benar mampu menguasai bidang keilmuan nya ? saya pikir kita tidak bisa menilai seperti itu, menilai kemampuan siswa atau mahasiswa -termasuk saya- hanya dengan indikator ‘Tahu’ saja atau ‘Bisa’ saja.

‘Tahu’ dan ‘Bisa’ merupakan dua hal yang berbeda, namun mereka saling mengisi satu sama lain. Tujuan pendidikan adalah untuk membebaskan individu dari belenggu ketidaktahuan, tapi apakah bisa membebaskan individu dari ketidakbisa-an ?. Pendididkan berindak sebagai pencerahan, pembebasan, dan sebagai oase dari kebodohan, maka individu yang telah merasakan pendidikan ia akan terbebas dari kebodohan/ketidaktahuan, dan tentu ia mendapatkan hal-hal yang baru yang diluar dari pengetahuannya sebelum mendapatkan pendidikan. Intinya dengan pendidikan, individu mendapatkan sesuatu yang baru di dalam diri nya – adanya perubahan -. Jika pendidikan bertujuan seperti itu, maka seharusnya setiap individu menjadi tahu akan bidang keilmuan nya, tapi saya meragukan apa kah ia akan menjadi bisa ? dalam artian ia bisa mengerjakan sesuatu atas dasar pengetahuan nya ?. Jika ia tidak bisa, maka menurut saya ia hanya baru sampai pada level ‘Tahu’ saja dan belum mencapai level ‘bisa’.

‘Tahu’ berkaitan dengan kemampuan dalam memecahkan serangkaian pertanyaan-pertanyaan di dalam pikirannya. Misal nya “Bayu apakah kamu tahu ibu kota Indonesia ?” “ya saya tahu, di Banjarmasin….” tentu jawaban seperti itu salah karena Ibu Kota Indonesia ada di Jakarta, maka orang demikian belum diberi tahu mengenai geografis atau pelajaran umum mengenai negara Indonesia. ‘Tahu’ hanya sekedar di pikiran, maka terbitlah kata ‘pengetahuan’ yang di mana ia hasil dari berfikir manusia yang termasuk di dalamnya hasil spekulasi. Kita bisa memikirkan mengenai hal ‘Tahu’ ini hanya sebatas pengetahuan saja, dan tentu kita bertanya apa kah dengan adanya kemampuan ‘Tahu’ itu seseorang mampu berbuat sesuatu dan bisa ?. ‘Bisa’ identik dengan kemampuan kerja atau hasil praktik yang tentu hasil perpaduan antara pengetahuan, keberanian mencoba, dan rasa tidak menyerah. Lantas bagaimana dengan orang yang sebelumnya tidak ada pengetahuan tapi ia bisa melakukan ? sebelum ke arah sana saya ingin mengatakan bahwa, ‘Tahu’ identik juga dengan teori, itu yang terjadi di masyarakat, ketika ada seorang sarjana yang tidak bisa apa-apa maka masyarakat akan menilai dia hanya tahu teori nya saja.

Mari kembali lagi kepada bahasan tentang ‘Bisa’. Jika orang telah mampu mencapai level ‘Bisa’ ia telah berhasil memadukan pengetahuan yang dimilikinya dengan modal motivasi yang ia miliki. Lantas bagaimana dengan orang yang tidak tahu ‘teori’ tapi ia telah ‘Bisa’ mengerjakan sesuatu yang bermanfaat bagi diri nya sendiri – minimal – dan masyrakat ? bagi saya ini adalah suatu anomali, atau jangan-jangan sistem pendidikan kita yang salah selama ini ? termasuk sistem pendidikan tinggi yang dinilai sebagai ujung tombak kualitas suatu bangsa. Pendidikan kita hanya terus mencekoki anak-anak dengan serangkaian pengetahuan tanpa adanya pembentukan jalan menuju ‘Bisa’.

Perguruan tinggi kita tidak jelas arahnya kemana, itu menurut saya, aka dibawa kemana para sarjana kita ? katanya sarjana adalah salah satu komponen penting dalam pembangunan, apakah mereka telah yakin atas kemampuan dirinya ? apakah telah dipastikan mereka telah mencapai level ‘Tahu’ dan leve ‘Bisa’ atau terampil sehingga ia bisa melebur bersama masyarakat ?. Orang yang telah ‘Bisa’ tanpa melalui jalan ‘Tahu’ sesungguhnya menurut saya ia telah bekerja dengan keras, bekerja dengan pikiran dan tindakannya. Karena ‘Tahu’ hanya sebatas ‘Tahu’, tetapi ‘Bisa’, ia tidak sebatas Tahu’ tapi mampu dan terampil berbuat sesuatu sehingga individu yang seperti itu akan bisa mengarungi samudra kehidupan dan bisa menjadi pengendali layar ditengah-tengah badai lautan.
Bandung, 14 September 2016

SAYA DAN MUSIK

Beda orang tentu beda pula sifat yang pembawaannya, dari mulai sifat fisik sampai sifat pribadinya bahkan pikiran nya karena setiap orang mempunyai ke-unikan nya masing-masing, hebat dengan cara nya masing-masing. Maka tiap orang harus mengeluarkan atau mengekspresikan diri nya masing-masing dan bagi saya keseragaman atau penyeragaman merupakan salah satu bentuk penindasan terhadap individu, maksud saya penyeragaman yang dapat menghambat ke-unikan dan kehebatan masing-masing individu. Setiap orang jelas mempunyai selera masing-masing entah itu dalam hal makanan, pakaian, musik, bahkan perempuan. Hal yang terakhir memang sedikit kasar jika perempuan di mata lelaki masuk dalam ranah seleranya. Maka di sini perempuan masuk dalam kriteria bukan selera. Tapi bukan itu yang dimaksud dari tulisan ini.

Saya bermaksud untuk menuliskan musik yang saya dengar dan perasaan saya ketika mendengarkannya. Saya suka mendengarkan musik terutama musik kesukaan saya, rasa nya tidak ada hari tanpa mendengarkan musik bagi saya. Jangan tanya selera musik saya apa, karena selera musik saya ancur banget. Tapi saya percaya bahwa musik adalah suara manusia yang diekspresikan melalui media. Terlepas dari apa suara manusia yang disuarakan bisa kenangan, kebahagiaan, kesededihan, kepedihan, kritik, gugatan dsb. Musik merupakan seni sekaligus perlawanan menurut saya, karena jika kita tidak bisa melawan terhadap kekuasaan maka musik-musik lah yang akan menjadi peluru-peluru kita untuk melawan.

Musik merupakan bagian dari seni, itu menurut saya karena di dalamnya ada aspek estetika yang dapat dinikmati oleh orang-orang. Rasa indah dari musik itu sendir dihasilkan dari daya cipta pembuat musik yang sarat dengan kreatifitas walaupun kreatifitas itu sendiri tidak mutlak, yang di mana nilai kreatif suatu musik tergantung dari pendengarnya yang mendengarkan. Musik menurut saya pun mempunyai ruh, karena ia hidup dan memberi hidup bagi yang mendengarkannya. Ia hidup karena mempunyai suatu estetik nya tersendiri dan ia memberi hidup kepada pendengarnya karena ia memberikan sebuah rangsangan kepada pendengarnya, apapun itu rangsangannya seperti kenangan, semangat, kesedihan, haru, dan membuat kita lebih tersadar.

Saya kira musik merupakan bagian dari kajian psikologis manusia atau yang dapat merangsang emosi manusia. Saya mendengarkan musik karena memang musik itu enak didengar jika memang demikian, selain itu lirik yang menyertainya bisa membuat makin indah dari suatu musik. Lirik yang nyambung tentu nya dengan instrumen-instrumen pengiringnya. Jika saya mendengarkan musik atau lagu maka langsung teringat apa-apa yang telah terjadi dalam hidup saya dan tidak jarang saya berspekulasi mengenai kehidupan orang yang menyanyikan atau yang memainkan musik nya. Maka dari sana saya bisa mengingat kembali kejadian-kejadian yang telah terjadi di kehidupan saya, dan itu bisa menimbulkan rasa senang, sedih, sakit, intinya galau.

Saya berfikir jika demikian maka orang yang mendengarkan musik jatuh cinta, ia akan merasakan jatuh cinta seperti apa yang digambarkan oleh musik yang melagukan hal tentang cinta. Ia akan baper dan kemudian galau dan ia akan hidup dalam dunia kegalauan, maka ia harus belajar filsafat baperisme agar ia dapat mengendalikan dan menguasai bapernya, kira-kira begitu saran saya, kenapa ? karena orang yang baper karena musik tentu ia tidak baik untuk nya, baper yang berlebihan maksud saya. Ia akan tidak sadarkan diri bahwa itu hanya efek yang diberikan oleh musik, orang harus sadar akan kenyataan ia sendiri dan segera bangkit – terus bergerak. Mendengarkan musik memang menjadi sarana untuk menenangkan diri dari dari hiruk-pikuk kehidupan, mumet nya hidup yang terjadi dan dirasai oleh orang-orang dewasa, maka orang dewasa perlu mendengarkan musik.

Saya menyukai musik karena ia memberi rasa tenang kepada pikiran, memberi rasa semangat, sekaligus memberi kan rasa yang malas dan mendayu-dayu. Ada benarnya juga jika pagi hari mendengarkan musik yang semangat maka lihatlah apa yang terjadi, kita akan semangat pula. Pikiran saya pun ketika mendengarkan musik, mulai berspekulasi apa sih yang dirasakan oleh sang penyayi dan pencipta nya ? apa kah musik atau lagu yang dinyanyikannya adalah emosi ia sendiri yang dicurahkan kedalam musik dan atau lagu ?. Musik tida bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, sampai kapan pun dan merupakan bagian dari peradaban manusia di alam semesta ini dari sejak purbakala hingga akhir masa peradaban manusia. Tapi saya masih bertanya-tanya kenapa ada sebagian orang yang menghakimi bahwa musik itu haram, dan mendengarkan nya pun ikut menjadi haram. Dunia terlalu suram tanpa musik. Entah lah.

Bandung, 12 September 2016

HILANG

JIKA HILANG MAKA HILANG
AKU HILANG MAKA MEREKA HILANG
SEPERTI POTONGAN LEGO YANG TIDAK LENGKAP
MEREKA KEHILAGAN KOMPONEN PELENGKAP
KOMPONEN TIDAK PENTING
SEPERTI AKU
BAHWA KEHILANGAN ADALAH
PERISTIWA YANG AMBIGU
MEMANG HARUS HILANG AGAR TUMBUH YANG BARU
MEMANG HARUS BINASA UNTUK MEMUNCULKAN YANG SEGAR
YANG HILANG ITU AKAN TERUS TERKENANG
MELALUI ORGANISME-ORGANISME PEMBANGKANG
YANG SELALU TIDAK PUAS AKAN KENYATAAN

APA PULA INI TULISAN
TIDAK NYAMBUNG, PUISI BUKAN, SAJAK BUKAN
INI TULISAN MEMANGLAH TULISAN
DARI ORANG YANG DIGONCANG KEHILANGAN
KEHILANGAN SEORANG KEKASIH
DIRI NYA SENDIRI.