PENDUDUKAN JEPANG, KEKERASAN PEREMPUAN, DAN BUDAYA INDONESIA : REVIEW BUKU PERAWAN REMAJA DALAM CENGKERAMAN MILITER #PRAMOEDYAATOER

Perawan remaja dalam cengkeram militer merupakan salah satu karya yang sangat bagus dari Pramoedya A Toer, karya tersebut bukan lah sebuah novel sejarah seperti Tetralogi Buru, epos kepahlawanan Arus Balik, maupun karya lainnya. Buku Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer adalah sebuah catatan yang ditulis oleh Pram sendiri yang bersumber dari cerita rekan-rekan selama di Pulau Buru. Tentu saja cerita tersebut bukan lah sebuah dongen belaka, namun sebuah penulusuran atas apa yang telah terjadi terhadap perawan remaja bangsa ini di masa pendudukan Jepang dulu. Pram dengan baiknya menuliskan cerita-cerita tersebut dengan apik sehingga menjadi sebuah tulisan dengan gaya yang khas.

 

Seperti biasanya, karya-karya Pram yang sarat dengan humanisme, penindasan, kehidupan yang pelik yang menimpa manusia menjadikan karya nya sangat inspiratif dan mempengaruhi pemikiran pembacanya. Orang yang membacanya dapat tersentuh hati dan pikirannya sehingga seakan-akan ia ikut terhanyut dan ikut mengalami atas apa yang terjadi di dalam cerita. Buku Perawan Dalam Cengkeraman Militer menceritakan atau memberi informasi pengalaman yang didapat Pram dan atau teman-teman nya selama di Pulau Buru mengenai Perawan Remaja Indonesia yang ditindas, dilemahkan, dihncurkan cita-cita dan harapannya, dibuang keberadaannya oleh militer Jepang ketika pendudukan di Indonesia ketika PD II.

Perang dunia II yang saat itu telah berlangsung di dunia melibatkan beberapa negara-negara yang mendominasi salah satunya yaitu Jepang. Belanda yang saat itu masih mencokol dengan koloniaisme nya di Indonesia berhasil ditumpas oleh Jepang, maka berakhirlah jaman kolonialisme Belanda di Indonesia dan dimulai lah dengan Jaman pendudukan Jepang. Pendudukan Jepang pun dimulai, pembangun pangkalan-pangkalan Militer segera di bangun, mengambil alih pemerintahan atau administrasi negara hingga melakukan propaganda Dai Nippon. Perang dunia II yang terus berkecamuk, mengakibatkan Jepang harus megantisipasi krisis psikis para serdadunya dan untuk menhindari masalah yang ditimbulkan itu, maka saat itu Jepang membuat sebuah rencana, tindakan untuk menghindari masalahnya dengan mengambil perawan-perawan remaja untuk dijadikan objek pemuas seksual serdadu-serdadu Dai Nippon.

Muslihat Dai Nippon

Jepang dengan tipu muslihatnya telah menjalankan serangkaian rencana untuk memuluskan tujuannya – mencengkeram perawan remaja bangsa ini – melalui propaganda-propagand manisnya. Jepang saat itu menjanjikan untuk menyekolahkan pemudi-pemudi bangsa ini ke Tokyo dan Singapura agar ketika bangsa ini merdaka, para kaum muda dapat memimpin dan menjalankan negara dengan baik. Informasi terkait itu disebarkan melalui alat-alat jepang seperti kepala pemerintah daerah hingga tingkat desa. Informasi menyebar secara luas dan cepat secara mulut ke mulut sehingga kontrol akan kebenaran berita tersebut tidak ada, lain hal nya jika berita tersebut diumumkan melalui pers atau media yang ada tentu ada pihak-pihak yang akan melakukan verifikasi kebenarannya. Jepang berhasil dalam melakukan propaganda nya maka, ia mendapatkan perawan-perawan remaja yang penuh dengan semangat belajar di negeri orang dengan harapan sekembalinya ke tempat asalnya dapat memimpin negeri ini. Perawan-perawan remaja yang mengikuti program ‘belajar’ Jepang merupakan individu yang terdidik, lulusan sekolah SD maupun SMP, dan diantara mereka adalah keturunan atau mempunyai darah ningrat. Buku ini menerangkan bahwa mereka – Perawan-perawan remaja – dijemput langsung oleh serdadu Jepang langsung dari rumah orang tua nya masing-masing kemudian di kumpulkan di suatu tempat seperti asrama yang disekililing nya di pagari tinggi sehingga orang luar tidak dapat melihat / tahu apa yang terjadi di dalamnya. Mereka pula diangkut melalui kapal-kapal yang dikawal langsung oleh kapal perang menuju Singapura, namun kapal tersebut berbelok menuju pulau antah berantah dan mereka ditampung di sebuah pertahanan jepang dan menjadi alat pemuas nafsu serdadu-sedadu jepang.

Mereka Yang Dibohongi
Tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain dibohongi, atas tindakan tersebut dapat mengakibatkan efek yang sangat fatal. Perawan remaja pada masa pendudukan Jepang sebagaimana digambarkan keadaannya oleh Pramoedya dalam buku ini sangat ironi. Mereka diiming-imingi dengan mimpi yang tak pernah terwujud bahkan menjadi suatu penderitaan yang menjadi cerita hidup mereka. Mimpi untuk disekolahkan oleh Jepang nyatanya tidak pernah terwujud malahan mimpi tersebut berganti dengan mimpi-mimpi buruk yang tidak akan pernah dilupakan. Mereka – perawan remaja – dijadikan sebagai budak seks, objek pemenuhan nafsu serdadu-serdadu Jepang yang stres dengan perang. Membayangkannya pun sungguh menjadi suatu bayangan yang sangat buruk. Kita tentu tidak pernah mau mempunya nasib begitu buruk. Sungguhpun perawan remaja bangsa ini pada masa sekarang mempunyai nasib yang jauh lebih baik dari pada perawan remaja dahulu. Seyogiyanya kita semua patut mensyukuri karena zaman telah berubah tinggal kita meneruskan perjuangan orang-orang terdahulu yang menentang penindasan kemanusiaan dalam bentuk apapun!. Perawan remaja masa sekarang harusnya berkaca dengan mereka yang dibohongi dan dijadikan binatang pada saat itu, perawan remaja saat ini sungguh beruntung dan memiliki banyak pilihan hidup, dapat bersekolah tinggi, menjadi apa yang diinginkan, status perempuan setara dengan laki-laki (walaupun masih ada yang merendahkan perempuan dan menginjak-injak harga diri nya), maka pilih lah hidup kalian sebaik-baiknya, jangan sampai terulang kembali cerita memilukan seperti dahulu. Saya ketika membaca buku ini berfikir betapa menderitanya orang-orang zaman dulu terlebih para perawan remaja. Pastilah mereka saat itu diliputi perasaan senang karena diberi kesempatan bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi, diliputi semangat yang tinggi untuk membangun bangsa, nyatanya mereka dibohongi, tidak ada perasaan yang dapat menggambarkan bagaimana rasanya kenyataan jauh dari harapan, keluarga korban, sanak saudara, dan lingkungan pun pastinya merasa merana bahwa anak-anak mereka diperlakukan jauh dari layaknya perlakuan manusia. Tentu saya menyoroti bagaimana Jepang saat itu melakukan propagandanya dengan baik, mereka – Jepang – melakukan penyebaran berita-berita melalui pejabat administrasi seperti bupati, camat, hingga ketua atau kepala-kepala desa. Berita propaganda mengenai sekolah ke Tokyo dan Singapura menyebar dengan cepat melalui mulut ke mulut, sungguh tidak ada verifikasi atas kebenaran berita tersebut. Maka peran media atau pers sudah menjadi suatu hal yang penting dalam mengontrol pihak yang berkuasa.

Seputar Budaya Indonesia
Banyak orang mengatakan bahwa Indonesia mempunyai budaya yang sangat kaya, dalam artian mempunyai keanekaragaman yang tinggi, dari mulai budaya papua, hingga budaya aceh, Indonesia juga mempunyai ragam bahasa yang tinggi, dari mulai bahasa batak, dayak, makassar, papua, hingga jawa dan sunda. Akibat dari beragamnya budaya, bahasa maka corak berfikir manusia Indonesia pun berbeda pula, ini lah yang menjadi tantangan pemimpin bangsa ini untuk menyatukan manusia Indoensianya dalam melawan segala bentuk penindasan baik itu yang berasal dari dalam tubuh bangsa maupun dari luar bangsa Indoensia sendiri dan dalam bentuk penindasan terhadap hak untuk hidup, ekonomi – apapun itu. Beragamnya budaya, bahasa dan pola pikir bangsa Indoensia mengakibatkan berbedanya pula tiap-tiap kelompok dalam menyikapi suatu pokok persoalahan maupun perihal dalam berkehidupan. Misalnya dalam buku ini -Remaja Perempuan Dalam Cengkeraman Militer- Pramoedya sebagai penulis ingin menyampaikan kisah pilu yang dialami oleh perawan-perawan remaja yang ditindas oleh serdadu Jepang dan dibiarkan begitu saja hidup di Pulau Buru yang di mana saat itu mereka ditahan di garis-garis pertahanan di pulau tersebut. Ketika Jepang kalah, para remaja dibiarkan begitu saja di Pulau Buru yang asing bagi mereka, baik itu budaya, dan bahasanya. Mereka –remaja yang dicengkeram- dipaksa bertahan hidup di pulau yang asing bagi mereka, hingga mereka hidup dalam peradaban yang boleh dikatakan masih purba atau jauh dengan budaya jawa. Mereka dipaksa menyesuaikan diri, bergumul dengan penduduk Pulau Buru, hidup dikedalaman rimba dan puncak-puncak gunung, mulai berbahasa seperti penduduk Pulau Buru. Namun bagaimanapun juga mereka berbeda dengan penduduk asli pulau tersebut setidaknya dari fisik, mereka barang tentu sudah berbeda. Sebelumnya bahan buku ini merupakan bahan yang dikumpulkan oleh Pramoedya semasa ia menjadi tahanan di Pulau Buru, dan ia mengumpulkan bahan-bahan dari catatan-catatan teman tahanan lainnya yang ketika itu menjelajahi Pulau Buru dan melalui obrolan teman-temannya. Sudah barang tentu saya selama mengeyam pendidikan tidak pernah menemui pelajaran sejarah mengenai kisah-kisah ini, mungkin saja kisah perawan remaja dalam cengkeraman militer adalah salah satu dari sekian banyak sejarah tragis bangsa ini yang sengaja ditutupi atau bahkan tidak pernah ada yang mengakuinya atau menelitinya secara ilmiah. Kembali kepada persoalan di mana para remaja yang melebur dengan kehidupan Pulau Buru pasca ditelantarkan serdadu Jepang. Remaja-remaja ini dengan terpaksa melebur dengan kehidupan Pulau Buru sebagai upaya bertahan dari ketidakberdayaan mereka dan untuk mempertahankan hidup, mungkin juga mereka memulai kehidupan baru dengan tidak lagi berharap dapat kembali kepada keluarga karena tidak sanggup menerima dan menanggung malu. Mereka mulai melebur dengan kebudayaan setempat dengan mempersuamikan pria-pria buru, karena bagaimana pun juga wanita perlu sesosok pria agar eksistensi ia sebagai wanita mengada. Posisi mereka sebagai istri dari pria Pulau Buru tidak bedanya dengan keadaan istri dari pria Jawa. Mereka terkekang oleh keberadaan pria, kemana pria / suami mereka pergi, tentu mereka sebagai istri harus mengikutinya, wanita dijadikan perhiasan untuk pria, kebebasan yang tentunya wajar atau yang menjadi hak para wanita sukar sekali didapat. Ini lah contoh salah satu budaya di negeri ini yang mungkin sampai saat ini masih ada.
Jatinangor, 27 Oktober 2016